Wednesday, May 11, 2011

Aqidah Dan Keimanan

 

image

Oleh : Dr. Yusuf Qordhowi

Termasuk penyimpangan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan yang nyata
terhadap konsepsi pemikiran manusia jika ada yang mengatakan, "Bahwa
sesungguhnya ayat-ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dari kalangan
Yahudi dan Nasrani."

Dan orang yang berkata ini lupa atau pura-pura l

lupa
bahwa ayat-ayat muhkamat ini, meskipun diturunkan kepada kaum tertentu,
tetapi kalimat-kalimatnya bersifat umum, di mana hukumnya meliputi
seluruh manusia yang tidak berhukum pada hukum Allah SWT. Merupakan kaidah
yang ditetapkan oleh para mufassirin, bahwa"Ibrah diambil dari umumnya
lafadz, bukan sebab yang khusus." Dan mustahil jika Allah mencela Ahlul
Kitab yang pertama dengan kezhaliman, kekufuran dan kefasikan karena
mereka telah menolak membuang hukum Allah di belakang mereka dan tidak
mahu berhukum pada hukum Allah, lantas memperbolehkan kepada kaum Muslimin
saat ini. Atau juga kepada Ahlul Kitab yang lainnya untuk menjadikan
Kitab Allah menjadi terbengkalai (terabaikan, sementara sebagian!
yang lain telah menjadikannya sebagai minhaj (sistem) dan dustur
(undang-undang) hidup mereka.

Apa faedahnya menyebutkan ayat-ayat itu dalam kaitannya dengan Ahlul
Kitab kalau bukan memberi peringatan kepada kaum Muslimin agar jangan
berbuat seperti mereka dan berhukum kepada selain hukum Allah, sehingga
mereka dicela seperti Ahlul Kitab dan sehingga mereka ditimpa oleh adzab
Allah dan murka-Nya. Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah
ia." (Thaha: 81)

Mengapa Allah SWT menurunkan kepada manusia kitab dan mengutus kepada
mereka seorang Rasul, jika mereka kemudian membiarkan kitab itu dan
menentang Rasul? Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan haq
(benar), agar supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu." (An-Nisaa': 105)

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah." (An-Nisaa': 64)

Oleh karena itu Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya setelah
menyebutkan ayat-ayat di atas sebagai berikut:

"Dan Kami telah turunkan kepadamuAl Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putusilah perkara mereka menurut apa yangAllah turunkan, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu." (Al Maaidah: 48)

Kemudian Allah berfirman pada ayat-ayat berikutnya sebagai berikut:

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dan sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dan hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnnya kebanyakan
munusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin?" (A1 Maaidah: 49-50)

Dengan demikian maka dalam hidup ini hanya ada dua hukum, dan tidak ada
ketiganya, yaitu hukum Islam atau hukum jahiliyah, hukum Allah atau
hukum Thaghut. Maka hendaklah seseorang itu memilih untuk dirinya, dan
hendaklah setiap kaum memilih untuk diri mereka' hukum Allah (hukum Islam)
atau hukum Thaghut (hukum jahiliyah) dan tidak ada tengah-tengah dari
keduanya.

Adapun orang-orang yang beriman maka tidak ada alternatif bagi mereka,
mereka selalu siap bersama hukum Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu
siap bersama Islam' mereka senantiasa dalam peperangan dengan Thaghut dan
hukum jahiliyah. Sesungguhnya syi'ar (semboyan) mereka apabila diseru
kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka selalu mengatakan: "Sami'na wa
'atha'naa."

Sedangkan orang-orang yang kafir, mereka itu selamanya berada di jalan
Thaghut, mereka selamanya dalam keadaan ragu, mereka berada dalam
kubangan jahiliyah. Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang kafir, wali-wali (penolong-penolong) mereka
adalah Thaghut, mengelaarkan mereka dan cahaya menuju kegelapan-kegelapan,
mereka itulah penghuni neraka, mereka di dalamnya kekal selama-lamanya."
(Al Baqarah: 257)

Di sini ada dua catatan penting' yaitu sebagai berikut:

Pertama: Bahwa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah itu
merupakan suatu kewajiban yang pasti, tidak ada seorang Muslim pun yang
menentang, ungkapan itu sama dengan istilah yang berkembang saat
ini"Hakimiyah adalah kepunyaan Allah." Yang berarti Allah-lah yang mempunyai
hak (wewenang) secara mutlak untuk membuat suatu aturan hidup, berhak
memerintah dan melarang, menghalalkan dan mengharamkan, yang berhak
menentukan dan memberikan beban terhadap seluruh makhluk-Nya.

Sebagian orang salah memahami bahwa prinsip ini katanya berasal dari
penemuan Al Maududi di Pakistan atau Sayyid Quthub di Mesir, padahal
kenyataannya pemikiran (konsep) ini diambil dari ilmu"Ushul Fiqih Islami,"
dan ulama ushul memuat pembahasan ini dalam bab"Hukum" yang masuk dalam
muqaddimah ilmu ushul, dan di dalam tema tentang"Al Hakim." Siapakah
dia, mereka semuanya bersepakat bahwa"Al Hakim" (yang menjadi penentu
hukum) adalah Allah, artinya Dia-lah yang memiliki kebenaran mutlak dalam
mengatur makhluk-Nya, sampai golongan Mu'tazilah pun tidak mengingkari
hal itu, sebagaimana dijelaskan oleh pensyarah kitab"Musallamus
Tsubuut," salah satu kitab ushul yang terkenal.

Dalil-dalil atas ketetapan prinsip ini baik dari Al Qur'an maupun
Sunnah jelas dan nyata yang sebagiannya telah kami sebutkan dalam
menjelaskan kewajiban berhukum pada apa yang diturunkan oleh Allah.

Kedua: Bahawa sesungguhnya berhukum pada apa yang diturunkan Allah SWT
itu tidak akan menghilangkan peran manusia, karena manusia itulah yang
memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya dan meng-istimbath
(menyimpulkan hukum) dari nash-nash itu' kemudian memenuhi yang kosong dalam
hal-hal yang tidak ada nashnya, yang kami katakan dengan istilah"Min
Thaqatul 'Afwi" (sisi-sisi yang dimaafkan). Dan ini sangat luas di mana
syari' (Allah SWT) sengaja tidak membahasnya sebagai rahmat (kasih sayang)
Allah kepada kita, bukan karena lupa. Di sinilah akal seorang Muslim
itu bisa mencapai dan berijtihad dalam pancaran nash-nash dan
kaidah-kaidah ushul.

Wallahu'alam

[tweetmeme only_single="false"]