Friday, September 30, 2011

Faktor-Faktor yang Mengurangi Keimanan



1. Berkurangnya iman dengan meninggalkan sifat-sifat kesempurnaanya

Disamping dalil-dalil yang menunjukkan bertambahnya keimanan adapula dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keimanan sempurna sangat berat sehingga banyak pula dalil-dalil yang menafikan keimanan yang sempurna dari seseorang yang berbuat kemaksiatan-kemaksiatan. Allah -Subhanallahu wa Ta’ala- :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal” (Al-Anfaal:2)

Dan firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (Al-Hujuraat:15)

Kalimat “inna maa” merupakan “harfu hashrin” yang mengurung sesuatu pada sesuatu. Sehingga makna ayat di atas adalah; hanya saja yang dikatakan mukmin adalah orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya, lain tidak. Atau yang disebut mukmin adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah bergetar hatinya, yang tidak demikian tidak dikatakan orang mukmin. Oleh karena itu sebagian manusia mengira dengan kaku bahwa yang tidak memiliki sifat-sifat yang tersebut di atas adalah kafir. Padahal para ulama ahli tafsir memahami bahwa yang dikurung dengan sifat-sifat tersebut adalah mukmin yang sempurna imannya, maka makna ayat diatas adalah: “Sesungguhnya seorang mukmin yang sempurna adalah….”. atau “Hanya saja mukmin hakiki adalah….:. dengan demikian orang yang tidak memiliki sifat-sifat diatas belum tentu kafir, yang pasti bukan mukmin yang sempurna imannya.

Maka jika tidak seperti yang Allah gambarkan di dalam ayat-ayat di atas ada dua kemungkinan; bisa jadi tidak memiliki keimanan alias kafir (munafiq) atau kemungkinan yang kedua, ia adalah seorang yang memiliki iman yang lemah dan tidak sempurna alias belum mencapai gambaran yang Allah sebutkan dalam ayat-ayat di atas.

Dalam ayat lainnya Allah sifatkan pula orang-orang beriman dengan rinci yaitu di awal surat Al-Mu’minuun:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. (Al-Mu’minuun 1-11)

Dalam ayat di atas juga menggambarkan orang yang beriman dengan sebenar-benar keimanan, sehingga orang yang tidak khusyu shalatnya bukan berarti tidak mukmin namun tidak sempurna keimanannya. Demikian pula yang belum meninggalkan perbuatan-perbuatan laghwun, yaitu perbuatan sia-sia bukan berarti kafir, namun orang yang belum sempurna keimananya dan begitulah seterusnya. Hingga apabila mereka meninggalkan dasar-dasar keimanannya seperti membatalkan syahadat dengan syirik besar, atau membatalkan syahadat kedua dengan beriman ke[ada nabi-nabi palsu atau ingkar kepada rukun-rukun iman maka ia kafir dan hilang imannya sama sekali.

Dengan keterangan tersebut berarti kita mengenali ada dua model keimanan, yaitu; keimanan yang sempurna dan keimanan yang lemah. Sedangkan kelemahan itu relatif; ada yang dekat pada kesempurnaan, ada pula yang di bawahnya dan di bawahnya, ada pula yang sangat lemah mendekati kekufuran. Jika kita lihat ayat-ayat di atas dan kita tanyakan mana yang lebih lemah, apakah seseorang yang tidak khusyu dalam shalatnya atau yang tidak khusyu dan tidak meninggalkan perbuatan sia-sia atau seseorang yang disamping tidak khusyu, tidak meninggalkan perbuatan sia-sia juga dia jatuh ke dalam zina dan tidak menjaga kemaluannya dari yang haram. Tentunya secara fiqih, mereka yang meninggalkan sifat-sifat kesempurnaan iman berarti dia lebih jauh dari kesempurnaan dan lebih lemah imannya. Inilah yang kita namakan berkurangnya keimanan. Para ulama menyebutkan bahwa keimanan akan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, semakin banyak kemaksiatan yang dilakukan, maka akan semakin berkurang keimanannya.

Berkata Imam Abu Utsman Ash-Shaabuni -rahimahullah- : “Di antara madzhab Ahlul-Hadits adalah bahwa iman merupakan ucapan, amalan, dan pengenalan (terhadap Allah), bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:264)

Imam Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna bertambah dan berkurangnya iman? Kemudian beliau menjawab dengan menukilkan ucapan dengan sanadnya sampai kepada ‘Umair bin Hubaib -rahimahullah-, dia berkata: “Iman bertambah dan berkurang”. Maka dia ditanya, “Bagaimana bertambah dan berkurangnya?” Dia menjawab: “Jika kita ingat Allah, memuji-Nya, bertasbih kepada-Nya, maka demikianlah bertambahnya. Dan jika kita lalai, melupakan-Nya, menyia-nyiakan-Nya maka itulah berkurangnya”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:265-266)

Demikian pula kita katakan hadits-hadits yang menafikan keimanan dari orang yang belum mengerjakan sifat-sifat kesempurnaan iman, seperti ucapan Rasulullah -salallahu’alaihi wa sallam- : “Tidak beriman salah seorang kalian hingga engkau menyukai untuk saudaramu apa-apa yang engkau sukai dari dirimu”. (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits ini Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- memberikan syarat yang sangat berat yaitu menyukai untuk saudaranya apa yang disukai oleh dirinya, namun apakah bermakna orang yang egois yang mementingkan diri sendiri adalah kafir? Tentu tidak.

Dan sabda Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya:

“Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga menjadikan aku lebih dicintai daripada anaknya, orangtuanya atau seluruh manusia lainnya”. (Muttafaq’alaih)

Para ulama memahami ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- “tidak beriman” adalah tidak beriman dengan keimanan yang sempurna.


2. Berkurangnya iman dengan mengerjakan dosa-dosa

Dan ucapan-ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya yang meniadakan keimanan bagi orang yang melakukan dosa-dosa tertentu:

“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Seseorang bertanya, “Siapakah yang tidak beriman wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu seseorang yang tetangganya merasa tidak aman karena gangguannya.” (Muttafaq’alaih)

Tentunya bukan bermakna kafir tetapi memiliki keimanan yang sempurna atau menurunnya keimanannya, yang demikian karena sudah disebutkan secara jelas di dalam Al-Quran pembatal-pembatal keimanan diantaranya kesyirikan yang besar. Dan juga telah dijelaskan bahwa dosa-dosa selain syirik masih ada kemungkinan diampuni. Allah -Subhanallahu wa Ta’ala- berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa:48)


3. Berkurangnya iman dengan meninggalkan cabang-cabang keimanan

Dalam riwayat yang lainnya Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- bersabda:

“Iman itu memiliki 70 lebih atau 60 lebih cabang, yang paling tinggi adalah Laa Ilaaha Illallah, yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman”. (Muttafaq’alaih)

Maka di dalam hadits diatas Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa iman memiliki sekian cabang, yang paling tingginya adalah ucapan laa ilaaha illallah yang paling rendahnya adalah menghilangkan gangguan dari jalan, di samping menunjukkan bahwa perbuatan yang baik (amal shalih) termasuk dalam keimanan juga menunjukkan bahwa jika berkurang cabang tersebut maka berkurang keimanannya, sampai hilang sama sekali keimanannya. Hingga jika hilang cabang yang utama yaitu laa ilaaha illallah maka hilanglah keimanannya secara keseluruhan.

Sufyan bin ‘Uyainah -rahimahullah- berkata: “Iman mencakup ucapan dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang”. Kemudian saudaranya yaitu Ibrahim bin ‘Uyainah bertanya kepadanya: “(Apakah juga) berkurang?” Maka dia menjawab: “Diamlah kamu wahai anak kecil! Tentu saja bisa berkurang, sampai-sampai tidak bersisa sama sekali”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:270-271)

Wednesday, September 28, 2011

Kebersihan hati dan tubuh badan

Rasulullah SAW bersabda,
“ Setiap daging yang tumbuh hasil dari sumber yang haram, maka neraka adalah lebih berhak ke atasnya (daging itu)”

Itu adalah sabda Rasulullah SAW mengenai sesiapa yang mengambil sesuatu yang haram dan memasukkan ke dalam tubuhnya.

Hari ini, manusia bergerak tanpa menitik beratkan perkara ini. Manusia berjalan tanpa memandang akan besarnya perkara ini. Mereka makan apa yang mereka mahu, mereka mengambil duit dari segala sumber tanpa mempunyai sensitiviti dalam perkara halal haram.

Hakikatnya, memasukkan perkara-perkara haram, seperti makanan, mahupun membeli makanan dari sumber duit yang haram, akan memberikan kesan kepada hati kita.

Rasulullah SAW bersabda, “Hati itu dibina dengan apa yang dimakan.”

Maka sumber makanan kita juga perlu dijaga kerana makanan yang bersumberkan dari sumber yang haram sedikit sebanyak akan memberikan kesan kepada hati kita.

Imam As-Syafi’e Rahimullah ‘alaihi pernah berkata, “Ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya tidak akan memasuki hati yang gelap.”

Justeru, penjagaan hati ini adalah perkara yang utama. Hati kita adalah segumpal darah yang mengandung sel-sel darah merah dan zat-zat besi. Sel dan zat-zat itu berasal dari makanan yang kita makan. Kalau makanan kita bersih dan halal mengikut syariat Islam, maka sel dan zat itu juga bersih sehingga hati kita juga akan bersih. Sebaliknya kalau makanan yang kita makan itu kotor, haram dan syubhat, baik benda itu haram atau wang yang digunakan untuk membelinya haram, maka sel dan zat-zat besi, atau zat-zat yang membina hati kita itu kotor, busuk dan gelap.

Hati seperti wadah yang terbuka. Hati yang kotor tidak akan menerima taufik dari Allah sebab Allah tidak akan memberi taufik dan hidayah kepada hati yang kotor. Sama halnya kita tidak akan memasukkan makanan ke dalam piring yang kotor. Apalagi taufik dan hidayah dari Allah itu sangat tinggi harganya.

Bila hati tidak dapat melihat kebenaran maka tidak akan terasa kebesaran, kehebatan, kasih sayang dan didikan dari Allah, tidak terasa anugerah, penjagaan, pengawasan dan pembelaan Allah. Kalau hati tidak mendapat hidayah dan taufik lagi maka kita akan menjadi orang yang sesat dan selalu terlibat melakukan maksiat dan mungkar.

Bersabda Rasulullah SAW :
“Dalam diri anak Adam itu ada segumpal daging. Bila baik daging itu baiklah seluruh anggota dan seluruh jasad. Bila jahat dan busuk daging itu jahatlah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati.” (Riwayat Al Bukhari & Muslim)

Firman Allah :
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman dengan-Nya.” (Al Maidah : 88)

Perintah memakan makanan yang halal adalah wajib. Kalau kita makan makanan yang haram dalam keadaan sedar bahawa benda yang kita makan itu haram maka kita akan berdosa dan hati kita akan gelap. Tetapi kalau makanan yang haram dan syubhat itu kita makan, tanpa diketahui bahawa benda itu haram dan syubhat maka kita tidak berdosa tetapi hati kita yang dibina dari makanan itu tetap akan gelap.

Atas dasar itulah Sayidina Abu Bakar As Siddiq mengorek kembali makanan yang telah ditelannya hingga muntah-muntah, setelah dia mengetahui bahwa makanan itu sumbernya adalah syubhat. Amirul Mukminin itu merasa cukup takut bila makanan itu akan membutakan hatinya. Setelah mengorek makanan itu, dengan rasa bimbang kalau ada sisa-sisa makanan tersebut yang masih ada dalam perutnya, maka beliau pun berdoa, "Ya Allah, jangan Engkau bertindak kepadaku akan apa yang telah jadi darah dagingku."

Hal ini menunjukkan betapa, perkara haram itu memberikan bahana yang besar terhadap seorang mu’min. Samada kita tahu atau tidak tahu perkara itu haram, maka yang haram tetap haram, tetap memberikan kesan terhadap hati kita. Kita tidak berdosa jika memakan makanan haram tanpa kita ketahui keharamannya, tetapi hati kita tetap terbina dari perkara yang haram itu.

Kalau kita pergi ke sebuah negara bukan Islam, tiada tanda halal, tiada pula kawasan yang menyatakan tidak halal dan sebagainya, maka kita perlu lebih sensitif mengenai penjagaan halal haram ini. Sebaiknya jika tiada keperluan ataupun darurat, maka lebih digalakkan untuk kita memasak di rumah. Hal ini kerana, keadaan itu sudah jatuh kepada keadaan syubhah. Menjaga diri dari syubah adalah amat dituntut.

Alasan tidak pandai memasak bukanlah satu alasan yang kukuh untuk dijadikan sebagai keadaan darurat. Untuk mengejar redha ALLAH SWT, kita sendiri perlu berusaha keras mengikuti perintahNya. Allah SWT tidak ingin sesuatu yang buruk berlaku kepada kita. Justeru kita sendiri perlu berusaha mengikuti apa yang diaturkan olehNya.

Jika kita tidak pandai memasak, maka berusahalah belajar memasak. Moga usaha kita itu, untuk menjaga kebersihan hati kita bagi memudahkan taqarrub kita kepada ALLAH akan diterima sebagai salah satu amal ibadah. Sesungguhnya ALLAH amat mengasihi hamba-hambaNya.

Mengenai penjagaan dari perkara-perkara syubhah ini, Rasulullah SAW ada bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu nyata dan yang haram itu pun nyata, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang kesamaran (syubhah), yang tidak diketahuinya oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa memelihara (dirinya) dari segala kesamaran, sesungguhnya ia telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa jatuh ke dalam perkara kesamaran, (maka) jatuhlah ia ke dalam (perkara) yang haram..." (H.Riw Bukhari dan Muslim).




Namun ramai yang ambil mudah kepada hadith ini, lalu menutup sebelah mata dan tetap juga memasukkan perkara-perkara syubhah dalam kehidupan mereka. Sedangkan keadaan ketika itu lebih cenderung kepada yang haram, kerana kita bukan di negara Islam, tambah pula yang memasaknya bukan Islam, itu belum lagi termasuk dengan bahan yang digunakan.

Akhirnya alasan darurat juga digunakan. Semua mengambil contoh dibolehkan memakan babi oleh Islam untuk membolehkan mereka makan di tempat-tempat syubhah.

Tetapi tahukah anda apakah yang dimaksudkan dengan darurat di dalam Islam? Darurat itu membawa maksud, jika tidak melakukan perkara itu, maka kita tidak akan dapat melakukan perkara lain. Contoh, kalau tidak makan babi itu ketika itu, maka kita akan mati. Maka bolehlah kita memakan makanan tersebut. Kalau sentuh air ketika itu, maka tubuh kita akan tumbuh gatal-gatal yang memeritkan. Maka bolehlah bertayammum.

Adakah kita sudah mencapai tahap sedemikian untuk mengambil perkara-perkara yang syubhah, sedangkan perkara yang jelas halal masih banyak di sekeliling kita?

Allah SWT berfirman, "(Tetapi kebanyakkan kamu tidak melakukan yang demikian), bahkan kamu utamakan kehidupan dunia; Padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal."
(Al-A'laa : 16-17)


Itulah sebenarnya yang ada dalam hati dan jiwa kita.

Hakikatnya, perumpamaan perkara halal kepada yang haram adalah seperti keluasan nikmat seluruh syurga, dengan sebatang pokok khuldi di dalamnya. Yang halal masih banyak, kenapa bergerak mengambil yang syubhah? Sedangkan Rasulullah SAW berpesan di dalam hadtih tadi, sesiapa yang memasukkan dirinya ke dalam kesamaran, maka dia memasukkan dirinya ke dalam yang haram.

Saya kembali kepada penjagaan hati. Makanan kita membina hati kita. Kita sepatutnya sensitif dalam menjaga hati kita. Hati adalah bejana keimanan, hati juga adalah ibu kepada pemikiran kita. Kalau rosak hati kita, maka rosaklah segala kehidupan kita dalam menjadi hamba yang baik kepada ALLAH SWT.

Sesungguhnya, kesukaran yang kita hadapi dalam menjauhi perkara-perkara haram dan syubhah, akan Allah bayar atas kesungguhan ketaatan kita kepadaNya. ALLAH SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang mukmin, diri dan harta mereka dengan (harga) Syurga untuk mereka.” (At Taubah : 111)

Kesukaran kita akan dibayar oleh ALLAH SWT. Itu adalah sesuatu yang pasti.

Maka jagalah hati kita dengan menjaga diri kita dari dimasukkan sesuatu yang sumbernya haram atau syubhah.
Hidup ini untuk mendapat keredhaan Allah SWT!

Saturday, September 24, 2011

Tidur / Rahsia sembahyang 5 waktu / Puasa

Imam Ibn Qaiyim pernah berkata:

"Sesiapa yang meneliti cara tidur dan jaga Rasulullah saw, akan mendapati bahawa tidur baginda adalah yang paling seimbang dan paling bermanafaat untuk badan, anggota dan kekuatan.Baginda tidak pernah tidur lebih dari kadar yang dihajati dan tidak pernah mencegah dirinya daripada kadar keperluannya."

Rasulullah saw biasanya mengatur waktu tidurnya:
"Sehampir-hampir Allah kepada hamba-Nya ialah di bahagian akhir malam. Dan sekiranya kamu berkuasa untuk menjadikan diri kamu salah seorang yang mengingati Allah di waktu ini maka lakukanlah."
(Riwayat Tarmizi dan Abu Daud)



Sabda Rasulullah saw yang bermaksud:
"Hendaklah kamu bangun malam kerana itu adalah kebiasaan amalan orang-orang yang soleh sebelum kamu. Sesungguhnya bangun malam itu mendekatkan diri kepada Allah, menutup segala dosa, menghilangkan penyakit kepada tubuh badan dan menjauhi kekejian."
(Hadith Riwayat Tarmizi)


Dalam kitab Miskatul Masabih ada disebutkan:
Tidur sedikit di waktu tengahari tidaklah dikeji. Rasulullah saw ada juga melakukannya. Ini dapat mengimbangi kekuatan tubuh badan setelah bertahajud di malam hari.

Ibn Qaiyim menambah:
"Tidur di siang hari amat dikeji kerana ia akan mewarisi penyakit kebengkakkan (muka kelihatan sembab dan tidak bercahaya) malapetaka, merosakkan warna kulit, menimbulkan penyakit radang limpa, melemahkan urat saraf dan melemahkan syahwat. Sekeji-keji tidur ialah ketika awal hari (matahari terbit) dan terlebih keji lagi ialah tidur di akhir siang hari (selepas Asar)."

Abdullah Ibnu Abbas (Ibnu Abbas) telah melihat anaknya tidur diwaktu Subuh. Maka dikatakan kepada anaknya:"Bangun! Apakah kamu tidur diwaktu rezeki dibahagi-bahagikan?" Setengah ulama mengatakan: "Sesiapa yang tidur selepas Asar sehingga terganggu kewarasannya maka janganlah ia mencaci selain daripada dirinya sendiri.

Ali bin Abi Talib r.a. berkata,
"Sewaktu Rasullullah saw duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Ansar, maka dengan tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi lalu berkata, 'Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepada kamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa a.s. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqarrab.' Lalu Rasullullah saw bersabda, 'Silakan bertanya.'


Berkata orang Yahudi,

'Sila terangkan kepada kami tentang 5 waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu.'

Sabda Rasullullah saw,

'Sembahyang Zuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhannya.

Sembahyang Asar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi.

Sembahyang Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s. Maka setiap mukmin yang bersembahyang Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah
akan mengkabulkan permintaannya.

Sembahyang Isyak itu ialah sembahyang yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku.

Sembahyang Subuh adalah sebelum terbit matahari. Ini kerana apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.'

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari Rasullullah saw, lalu mereka berkata, 'Memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan didapati oleh orang yang sembahyang.'

Rasullullah saw bersabda,
'Jagalah waktu-waktu sembahyang terutama sembahyang yang pertengahan. Sembahyang Zuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan sembahyang pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya wap api neraka Jahanam pada hari Kiamat.'

Sabda Rasullullah saw lagi,
'Manakala sembahyang Asar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan sembahyang Asar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.' Selepas itu Rasullullah saw membaca ayat yang bermaksud, 'Jagalah waktu-waktu sembahyang terutama sekali sembahyang yang pertengahan. Sembahyang Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan sembahyang Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.'

Sabda Rasullullah saw,
'Sembahyang Isyak (atamah). Katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitujuga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan sembahyang Isyak berjamaah, Allah SWT haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.'

Sabda Rasullullah saw seterusnya,
'Sembahyang Subuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan sembahyang Subuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah SWT dua
kebebasan iaitu:

Dibebaskan daripada api neraka.
Dibebaskan dari nifaq.
Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan daripada Rasullullah saw, maka mereka berkata, 'Memang benarlah apa yang kamu katakan itu wahai Muhammad (saw). Kini katakan pula kepada kami semua,


kenapakah Allah SWT mewajibkan puasa 30 hari ke atas umatmu?'

Sabda Rasullullah saw,
'Ketika Nabi Adam memakan buah pohon khuldi yang dilarang, lalu makanan itu tersangkut dalam perut Nabi Adam a.s. selama 30 hari. Kemudian Allah SWT mewajibkan ke atas keturunan Adam a.s. berlapar selama 30 hari. Sementara diizin makan di waktu malam itu adalah sebagai kurnia Allah SWT kepada makhluk-Nya.'

Kata orang Yahudi lagi,
'Wahai Muhammad, memang benarlah apa yang kamu katakan itu. Kini terangkan kepada kami mengenai ganjaran pahala yang diperolehi daripada berpuasa itu.'

Sabda Rasullullah saw,
'Seorang hamba yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dengan ikhlas kepada Allah SWT, dia akan diberikan oleh Allah SWT 7 perkara:

Akan dicairkan daging haram yang tumbuh dari badannya (daging yang tumbuh daripada makanan yang haram).
Rahmat Allah sentiasa dekat dengannya.
Diberi oleh Allah sebaik-baik amal.
Dijauhkan daripada merasa lapar dan dahaga.
Diringankan baginya siksa kubur (siksa yang amat mengerikan).
Diberikan cahaya oleh Allah SWT pada hari Kiamat untuk menyeberang Titian Sirath.
 
Allah SWT akan memberinya kemudian di syurga.'
Kata orang Yahudi,
'Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakan kepada kami kelebihanmu di antara semua para nabi.'

Sabda Rasullullah saw,
'Seorang nabi menggunakan doa mustajabnya untuk membinasakan umatnya, tetapi saya tetap menyimpankan doa saya (untuk saya gunakan memberi syafaat kepada umat saya di hari kiamat).'

Kata orang Yahudi,
'Benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Kini kami mengakui dengan ucapan Asyhadu Alla illaha illallah, wa annaka Rasulullah(kami percaya bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan engkau utusan Allah).'

Sedikit peringatan untuk kita semua:

"Dan sesungguhnya akan Kami berikan cubaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah berita gembira kepada orang-orang yang sabar."
(Surah Al-Baqarah: ayat 155)


"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."
(Surah Al-Baqarah: ayat 286)


Saintis akui cara tidur Nabi Muhammad baik untuk kesihatan

Orang dewasa memerlukan masa tidur selama enam hingga lapan jam sehari. Bagi kanak-kanak pula memerlukan masa tidur yang lebih panjang. Lain pula bagi golongan veteran yang mencapai usia emas, pola tidur mereka adalah antara empat hingga lima jam sehari.
Berwuduklah sebelum tidur

Amalan tidur membantu untuk memberi keselesaan. Sebelum tidur pastikan diri dalam keadaan bersih dan disarankan mengambil wuduk supaya diri berasa semangat mahu tidur dan keadaan yang bersih disukai Allah.

Tidurlah di atas rusuk kanan dan menghadap kiblat. Berusahalah menjaga adab tidur, elakkan kaki bersilang atau tertiarap dan mengangkat punggung. Tutuplah aurat dan tidurlah di tempat yang terselamat daripada bahaya serta kekotoran.

“Nabi melihat seorang lelaki tidur sambil meniarap, lantas beliau berkata: Inilah cara berbaring yang dibenci Allah.”(Hadis riwayat Tarmizi)

Sabda Baginda SAW bermaksud: “Apabila kamu mahu tidur ambil wuduk dulu seperti kamu mahu sembahyang, kemudian baringlah di sebelah kanan.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Jauhkan diri daripada amalan tidur dua kali pada siang hari kerana amalan itu perbuatan syaitan. Ia menyebabkan wajah jadi kusam, keruh, lembap dan mengurangkan rezeki.

Ibn Qaiyim merumuskan bahawa Nabi SAW tidak tidur dalam kekenyangan. Beliau berbaring berlapikkan bantal, mengiring ke sebelah kanan dalam keadaan berzikir kepada Allah, sehingga tidur.

Nabi Muhammad SAW suka tidur mengiring ke sebelah kanan. Baginda SAW tidur berlapikkan bantal yang sesuai dan membenci tidur secara meniarap. Ucapan memuji Allah sering diucap pada bibir.

Saintis juga mengakui kedudukan tidur Nabi Muhammad SAW itu adalah model terbaik. Ia mampu memberi kesan kepada kesihatan badan. Tidur cara Nabi Muhammad SAW mampu merehatkan badan dan menjaga kesihatan tulang leher.

Pakar perubatan mencadangkan dua kedudukan semasa tidur, iaitu mengiring dengan meluruskan tulang belakang atau menelentang di belakang dengan muka dan badan mengadap ke atas dengan menjaga bengkokkan tulang leher.

Anak Rasulullah SAW, Fatimah pernah menemui ayahandanya untuk meminta tawanan perang sebagai pembantu rumah kerana penat melakukan tugasan rumah tangga, tetapi tidak dipenuhi Baginda.

Sebaliknya, Baginda SAW mengajarkan mereka cara lebih baik daripada itu, iaitu mengamalkan zikir pada waktu hendak tidur dengan membaca pujian bagi Allah (subhanallah sebanyak 33 kali) diikuti Alhamdulillah dan Allahuakbar.

Itu adalah cara tidur sebaiknya diamalkan sambil berzikir memohon kebaikan serta kesejahteraan daripada Allah. Cara lain ialah membaca surah digalakkan seperti al-Fatihah, ayat Kursi, tiga ‘Kul’ dan doa sebelum tidur bagi mengelak gangguan.

Kisah Penyanyi Rock Inggeris Masuk Islam

(Cat Stevens – Yusof Islam)

Cat Stevens yang bertukar menjadi Yusof Islam, masuk Islam kerana sebuah buku “Terjemahan Al-Qur’an”, yang diterjemahkan oleh A. Yusof Ali.

Abang Cat Stevens, David Gordon adalah seorang paderi yang cukup kuat Kristiannya. Tiba-tiba abangnya masuk Islam. Pada mulanya Cat Stevens terkejut, dia terfikir bagaimanakah seorang paderi boleh masuk Islam. Akhirnya dia menyimpulkan bahawa abangnya jenis orang gila, sekejap kuat agama Kristian, kemudian menjadi penganut agama Islam pula.

Cat Steven bersama abangnya, David Gordon

Cats Stevens terus menjalani hidupnya sebagai seorang penyanyi, sibuk dengan pertunjukan pentas sana sini. Pada satu hari, ketika hari jadinya, abangnya yang telah masuk Islam datang ke rumahnya ketika Cat Stevens sedang mengadakan parti hari jadinya. Abangnya mengucapkan selamat hari jadi dan terus menghadiahkan satu bungkusan dan berkata “Benda ini benda suci, tolong letakkan di tempat suci dan jangan kamu hina.” Dia pun ambil dan letakkannya di meja bilik tidurnya.

Setelah habis pesta hari jadinya ketika dia mahu tidur, dia teringat dengan bungkusan yang diberikan oleh abangnya. Apabila dia buka bungkusan tersebut, itulah pertama kali dia terlihat sebuah buku dengan perkataan di kulitnya THE HOLY QU’RAN (Kitab Suci Al-Qur’an). Apabila dia melihat sahaja kitab itu dia terasa sesuatu yang ganjil dalam hatinya.

“Aku buka buku dan aku cuba baca maknanya yang terdapat dalam Bahasa Inggeris, dari satu perkataan ke satu perkataan, dari satu ayat ke satu ayat, aku baca! Baca! Baca! Aku terasa satu macam dalam diriku. Aku tak tahu bagaimana nak gambarkannya tetapi aku memang rasa satu macam. Bermula dari situ, ke mana saja aku pergi, baik ke pertunjukkan pentas atau latihan muzik atau ke mana saja, aku bawa buku itu, aku bawa dalam beg pakaianku. Apabila selesai pertunjukkan pentas, balik ke hotel aku akan sambung baca. Begitulah dari semasa ke semasa.”

Akhirnya Cat Stevens memasuki agama Islam dan menjadi penganut agama yang begitu taat sehingga dia menjadi pendakwah Islam pula sehingga sekarang ini. Namanya Cat Stevens juga ditukar kepada Yusof Islam.

Begitulah keadaannya apabila seseorang itu memahami Islam sebelum masuk Islam. Dia memahami setiap seelok-belok dan hukum Islam serta hati sanubarinya benar-benar yakin dengan Islam, barulah dia masuk Islam. Apabila sudah yakin, imannya tidak bergoyang.

Friday, September 23, 2011

Lalat dan Penyakit, Rasulullah dan Saintis



Dari Abi Hurairah r.a berkata bahawa Rasulullah SAW telah bersabda yang bermaksud: Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kamu maka rendamkanlah lalat itu kemudian buanglah. Kerana pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat ubat.�
(Riwayat al-Bukhari)


Kemusykilan

Hadis ini benar-benar pelik. Bolehkah lalat yang dikenali sebagai binatang pengotor mempunyai penawar kepada penyakit yang dibawanya?

Secara Logik

Lalat memang dikenali sebagai binatang pengotor dan pembawa penyakit. Hal ini sepertimana yang telah diterangkan dalam hadis di atas 'sesungguhnya pada sebelah sayapnya terdapat penyakit'. Namun perlu difikirkan kenapakah kekotoran, iaitu merujuk kepada pelbagai jenis bakteria yang terdapat pada tubuh badan lalat ini tidak mengakibatkan penyakit kepada lalat itu sendiri?

Jawapannya adalah kerana lalat memiliki daya tahanan badan semulajadi yang menghasilkan sejenis toksin yang bertindak sebagai penawar (antidote) yang memelihara dirinya daripada bahaya bakteria-bakteria tersebut.

Secara Saintifik

Islam menghendaki kita supaya menjaga kebersihan bukan sahaja pada pakaian dan tempat tinggal malah pada makanan dan juga minuman. Rasulullah SAW amat menitikberatkan hal ini sehinggakan apabila seekor lalat pun yang memasuki makanan atau minuman, baginda menyuruh kita berwaspada terhadap penyakit yang bakal menimpa seperti keracunan makanan dan sebagainya.


sitoplasma dapat membunuh kuman dari lalat

Apa yang disebutkan di dalam hadis di atas telah pun dibuat kajian oleh para saintis pada zaman kemudiannya. Contohnya pada tahun 1871, Prof. Brefild, Ilmuwan Jerman dari Universiti Hall menemui mikroorganisma jenis Fitriat yang diberi nama Ambaza Mouski dari golongan Antomofterali. Mikroorganisma ini hidup di bawah tingkat zat minyak di dalam perut lalat. Ambaza Mouski ini berkumpul di dalam sel-sel sehingga membentuk kekuatan yang besar. Kemudian sel-sel itu akan pecah dan mengeluarkan sitoplasma yang dapat membunuh kuman-kuman penyakit. Sel-sel tersebut terdapat di sekitar bahagian ke tiga dari tubuh lalat, iaitu pada bahagian perut dan ke bawah.

Kemudian pada tahun 1947, Ernestein seorang Inggeris juga menyelidiki Fitriat pada lalat ini. Hasil penyelidikannya menyimpulkan bahawa fitriat tersebut dapat memusnahkan pelbagai bakteria.

Tahun 1950, Roleos dari Switzerland juga menemui mikroorganisma ini dan memberi nama Javasin. Para peneliti lain iaitu Prof. Kock, Famer (Inggeris), Rose, Etlengger (German) dan Blatner (Switzerland) melakukan penyelidikan dan membuat kesimpulan yang sama tentang mikroorganisma pada lalat sekali gus membuktikan bahawa pelbagai penyakit dan bakteria pada lalat hanya terdapat pada hujung kakinya saja dan bukan pada seluruh badannya. Justeru mikroorganisma yang dapat membunuh kuman itu tidak dapat keluar dari tubuh lalat kecuali setelah disentuh oleh benda cair. Cairan ini dapat menambah tekanan pada sel-sel yang mengandungi mikroorganisma penolak kuman sehingga pecah dan memercikkan mikroorganisma istimewa ini.

Maka adalah ternyata bahawa apa yang dikatakan oleh Rasulullah adalah benar iaitu saranan baginda kepada kita agar menenggelamkan lalat terlebih dahulu ke dalam air bagi mengeluarkan mikroorganisma penolak kuman dari badan lalat tersebut, dalam erti kata bahawa badannya harus dibasahkan sebelum membuangnya dan air yang menjadi tempat pendaratan lalat tadi dapat diminum dengan selamat. Subhanallah betapa hebatnya junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.

Pendakwah berhemah tahu cara beri teguran



ILMUWAN hadis dan tafsir dari Cordoba, Sepanyol, Imam Abu Abdullah Al-Qurtubi, berkata menjadi tanggungjawab pendakwah memberikan nasihat kepada saudaranya dengan cara penuh bijaksana, lemah lembut dan menggunakan strategi.

Oleh itu, pendakwah perlu menjauhi sifat kasar dan keras ketika menegur serta memberi nasihat supaya orang yang ditegur tidak merasa malu atau melarikan diri sehingga menggagalkan matlamat dakwah. Komunikasi lisan yang berhemat ini turut dikenali sebagai kesantunan berbahasa.
Kesantunan dalam berbahasa akan memperlihatkan kesopanan terhadap orang yang bercakap dan dianggap sebagai seorang berbudi bahasa. Kaedah psikologi dakwah adalah metodologi terbaik dalam usaha mendekati, memahami, menyampaikan dan mengendalikan tingkah laku manusia.
Pendekatan ini mampu memberi kesan kepada masyarakat. Kita tidak mahu pendakwah mudah menerima label sebagai penghukum daripada berperanan mendidik masyarakat yang dahagakan ilmu agama.

Kita perlu memahami kehendak dan naluri masyarakat sebelum menjalankan tanggungjawab dakwah. Psikologi merujuk kepada ilmu berkaitan tingkah laku manusia yang mencerminkan pancaran sebenar gejala jiwanya.

Sememangnya ada kalangan individu dan masyarakat kita yang langsung tidak sensitif perkara berkenaan. Psikologi dakwah satu kaedah yang mudah dipupuk dan amat menarik untuk dipelajari. Komunikasi lisan pendakwah membabitkan soal hati dan perasaan membabitkan kedua-dua belah pihak.

Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Berbicaralah kepada manusia menurut kadar kemampuan akal mereka masing-masing.” (Hadis riwayat Muslim)
Maksud tersirat ialah budaya menegur amalan baik dan praktikal tetapi mesti dilakukan secara lembut, penuh kebijaksanaan dan bijak membaca suasana persekitaran dengan mengambil kira keadaan serta kedudukan masyarakat itu sendiri.

Setiap individu mempunyai perbezaan cara berfikir, mengeluarkan pendapat dan memberi pandangan dalam menangani pelbagai isu. Perbezaan ini akan mencambahkan ilmu yang membantu menghadapi cabaran kehidupan.

Ada tiga perkara asas yang menjadi garis panduan dalam memberi teguran kepada seseorang. Tujuannya untuk mempertahankan ukhuwah supaya tidak menjadi musuh.

Pertama, teguran tidak menghina dan menjatuhkan maruahnya, keduanya mencari masa dan ruang bersesuaian serta ketiga, memahami kedudukan orang ditegur dalam konteks kelapangan, keselesaan serta bebas tekanan emosi.

Apa yang kita perkatakan pasti akan dinilai oleh manusia dan dihitung oleh Allah. Perbuatan menegur orang yang melakukan kesalahan mampu mengundang ucapan penghargaan atau menjurus ke arah permusuhan.

Allah SWT berfirman yang bermaksud: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (Surah An-Nahl, ayat 125)

Namun, sejak kebelakangan ini semakin banyak pihak yang tidak boleh ditegur biarpun apa yang dinyatakan itu mempunyai kebenarannya.

Baginda Rasul didatangi seorang lelaki yang meminta izin untuk melakukan zina.
Rasulullah dengan berhikmah bertanya lelaki itu: “Adakah engkau suka lelaki lain berzina dengan ibumu atau kakakmu atau adik perempuanmu? Jawab lelaki itu: Aku tidak menyukainya ya Rasulullah. Lalu baginda berkata dengan lembut: Begitu juga dengan orang lain, mereka juga tidak suka jika engkau berzina dengan mana-mana wanita dalam kalangan kerabat mereka.”

Itulah pendekatan ditunjukkan Rasulullah SAW untuk dicontohi. Persoalannya, mengapa kita ketepikan cara yang ditunjukkan Baginda. Pendekatan itu bukan terhad kepada orang Islam, juga bukan Islam.

Allah memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun berkata lembut kepada Firaun seperti firman-Nya yang bermaksud: “Berbicaralah kalian berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Surah Thaha, ayat 44)

Jika dengan Firaun pun Allah perintahkan nabi bercakap lemah lembut, apatah lagi kita sesama Islam. Islam tidak suka kita bercakap atau berhujah semata-mata mengikut perasaan terpendam.

Jika memaksa orang lain berhenti melakukan kejahatan nescaya lebih banyak kejahatan dilakukannya. Sebaliknya ajaklah orang itu memulakan kerja kebaikan walaupun sedikit kerana yang sedikit akan menjadi kebiasaan yang
membunuh sifat buruknya.

INSAF DALAM MENILAI SETIAP INSAN

Dalam kehidupan ini kita akan bertemu dengan pelbagai ragam manusia. Setiap individu membawa pelbagai perwatakan. Kadang-kadang kita keliru dalam membuat penilaian. Keliru dalam menentu watak baik dan buruk. Ini disebabkan pada diri seseorang itu boleh terkumpul kedua unsur tersebut; unsur baik dan unsur buruk.



Jika kita melihat kepada seseorang insan pada unsur baik semata, tentu kita akan menilainya sebagai insan yang baik. Jika kita pula melihat di sudut yang buruk semata, maka pasti kita akan menilai sebagai insan yang buruk. Namun, jika kita melihat kedua unsur itu secara seimbang dan adil, pasti kita akan dapat membuat kesimpulan yang betul.




Insan apabila berbalah, atau bertelingkah mereka sering menonjolkan unsur buruk mengenai musuh mereka. Enggan mereka menyebut kebaikan yang ada, sekalipun itu terang dan jelas. Kita boleh lihat akhlak orang-orang politik hari ini apabila mereka bertelingkah. Enggan mengiktiraf sumbangan pihak lain hanya kerana perbezaan politik yang ada.

Demikian juga dalam kehidupan, ramai yang enggan mengiktiraf kebaikan pihak yang dibenci sekalipun nyata kebaikannya. Ini adalah sifat yang tidak munsif atau kita sebut tidak insaf. Perkataan insaf di sini bukan seperti yang kita faham iaitu menyesal. Sebaliknya bermaksud sesuatu yang berada di tengah; tidak melampau dan tidak terkurang. Inilah arahan Allah kepada kita.

Dalam urusan jual beli, kita diharamkan mengurangkan hak orang lain, apatah lagi dalam urusan nilai dan harga diri orang lain yang lebih bermakna dari timbangan makanan dan barang, lebih utamalah untuk kita memastikan hak orang lain tidak dikurangkan. Firman Allah: (maksudnya):

“Jangan kamu kurangkan manusia apa yang menjadi hak-haknya (Surah Hud: 85).

Timbangan Amalan



Allah Tuhan Yang Maha Adil tidak menetap bahawa hanya orang tidak berdosa sahaja yang masuk syurga. Tidak juga menyatakan bahawa setiap yang ada dosa akan memasuki neraka. Sebaliknya al-Quran menyatakan bahawa seseorang ditimbang amalan baik dan buruknya. Maka, sesiapa yang amalan baiknya melebihi amalan buruknya, maka dia berjaya. Begitulah sebaliknya; sesiapa yang amalan buruknya melebihi amalan baiknya, maka tempatnya neraka. Firman Allah (maksudnya):

“adapun orang yang berat timbangannya (amalan baik), maka dia berada dalam kehidupan yang senang lenang. Sesiapa yang ringan timbangannya (amalan baik), maka tempat kembalinya ialah “Haawiyah”, Dan apa jalan engkau dapat mengetahui, apa dia “Haawiyah” itu? (Haawiyah itu ialah): api yang panas membakar” (Surah al-Qariah 6-11).

Setelah Allah menetapkan demikian, bagaimana mungkinkah kita ingin memutus hanya insan yang tidak berdosa sahaja yang layak untuk diiktiraf sebagai insan yang baik?! Sebaliknya, insan yang baik itu ialah seseorang yang amalan baiknya melebihi amalan buruknya.

Semua Berdosa

Sabda Nabi s.a.w:

“Semua anak Adam itu melakukan kesalahan. Sebaik-baik pelaku kesalahan itu ialah mereka yang bertaubat” (Riwayat Ahmad, al-Tirmizi dan Ibn Majah/ dihasankan oleh al-Albani).

Justeru, setiap kita tidak sunyi dari kesalahan. Tiada siapa pun dalam kalangan kita yang boleh mendakwa bahawa dirinya suci dari dosa dan noda. Cuma beza antara orang baik dan yang buruk, seorang baik itu memohon keampunan dari Allah dan berusaha membaiki diri. Sementara orang yang buruk keras kepala dengan dosanya, tidak kesal dan tidak memohon keampunan.

Menyedari hakikat ini, maka jangan kita hina manusia disebabkan sesuatu dosa, tetapi lihat bagaimana sikap dirinya terhadap dosa tersebut. Allah tidak pernah menjadikan orang yang berdosa kecewa, sebaliknya sentiasa membuka pintu untuk mereka kembali kepadaNya. Firman Allah: (maksudnya):

“Katakanlah: “Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri (dengan perbuatan dosa), janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, kerana sesungguhnya Allah mengampunkan segala dosa; sesungguhnya Dialah jua Yang Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” (Surah al-Zumar: 53).

Jahat Tak Menafikan Baik

Dalam diri insani boleh terkumpul dua unsur yang berlainan pada satu masa yang sama; kebaikan juga kejahatan. Apabila kita berbicara soal kejahatannya, janganlah sampai kita lupa unsur kebaikan yang ada sehingga kita memadamkan baiknya dan menghukumnya melebihi kadar yang patut. Hal ini pernah Rasulullah s.a.w bantah terhadap perkataan sesetengah sahabat yang melaknat seorang peminum arak dalam kalangan mereka. Dalam hadis al-Imam al-Bukhari, Rasulullah s.a.w mengajar kita hakikat ini.

“Seorang lelaki bernama ‘Abdullah, digelar ‘himar’ (kaldai). Dia pernah menyebabkan Rasulullah s.a.w ketawa. Juga pernah Nabi s.a.w. menyebatnya (menjatuhkan hukuman) disebabkan kesalahan meminum arak. Pada suatu hari dia ditangkap lagi (disebabkan kesalahan meminum arak), maka baginda pun menghukum lalu dia disebat. Seorang lelaki berkata: “Ya Allah! Laknatilah dia, alangkah kerap dia ditangkap”. Lantas Nabi s.a.w pun bersabda: “Jangan kamu semua melaknatinya! Demi Allah apa yang aku tahu dia mencintai Allah dan RasulNya”. (Riwayat al-Bukhari).

Walaupun dia minum arak, itu satu dosa yang besar, namun dalam masa yang sama Rasulullah s.a.w tidak menafikan unsur cintakan Allah dan Rasul yang wujud dalam diri. Bahkan Nabi s.a.w mempertahankan kelebihannya itu. Kita lebih wajar demikian. Jangan kerana melihat sesuatu dosa, sekalipun besar, kita menafikan unsur kebaikan lain yang ada pada diri seseorang.

Diri Sendiri


Jika setiap kita merenung kepada dirinya sendiri secara insaf, dia akan tahu dia juga banyak kesalahan dan dosa. Jika tidak dosa zahir, dosa batin; niat dan jiwa yang buruk seperti hasad, buruk sangka, takabur, riyak dan lain-lain. Jika tidak dosa pada perbuatan, dosa pada perkataan seperti mengumpat, memfitnah, menuduh, menjadi ‘batu-api’ dan pelbagai lagi.

Dosa-dosa batin dan perkataan ini kadang kala jauh lebih besar di sisi Allah daripada dosa-dosa peribadi seperti minum arak dan zina. Namun kita sering memandang ringan sedang ia besar. Firman Allah (maksudnya):

“ketika kamu menerima berita dusta itu dengan lidah kamu, dan memperkatakan dengan mulut kamu sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan mengenainya; dan kamu pula menyangka ianya perkara kecil, pada hal di sisi Allah adalah perkara yang besar dosanya”. (Surah an-Nur: 15).

Setiap kita juga ada rahsia keaiban yang tersendiri. Hanya kerana rahmat Allah masih tertutup keaiban itu. Kita berjalan dengan bangga di hadapan khalayak ramai serta merasakan diri suci. Sebenarnya, dalam banyak hal kita tidak suci, cumanya dosa kita tidak didedahkan kepada manusia. Kata al-Imam Ahmad dengan linangan airmata ketika dia dimuliakan: “Kami ini kesian. Jika tidak kerana tutupan Allah, nescaya akan terdedah aib kami”. Demikian tawaduknya imam yang agung itu.

Namun kita, lantaran merasakan diri suci, kita menghukum dan menilai dosa peribadi orang lain berlebihan sehingga seakan kita sunyi dari kesalahan. Dengan satu dosa sahaja, kita dedah dan hina seseorang dengan apa yang Allah sendiri tidak hina sedemikian rupa. Nabi s.a.w memberikan amaran:

“..jangan kamu mencari-cari keaiban orang muslim kerana sesiapa yang mencari keaiban orang muslim Allah akan mendapatkan keaibannya. Sesiapa yang Allah dapat keaibannya, maka didedahkan sekalipun dalam rumahnya”. (Riwayat Ahmad dan Abu Daud/ disahihkan al-Albani)

Seimbang

Islam menyuruh kita adil dalam semua perkara termasuk dalam membuat penilaian terhadap seseorang. Adil terhadap setiap pihak walaupun pihak kita benci dan bermusuhan. Allah menyebut (maksudnya):

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu semua sentiasa menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan kerana Allah, lagi menerangkan kebenaran; dan jangan sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan. Hendaklah kamu berlaku adil (kepada sesiapa jua) kerana sikap adil itu lebih hampir kepada taqwa”. (Surah al-Maidah: 8).

Al-Imam Muhibb al-Din al-Khatib menyebut:

“Kita kaum muslimin tidak beriktikad kemaksuman seseorang selepas Rasulullah s.a.w. Sesiapa sahaja yang mendakwa kemaksuman seseorang selepas Rasulullah s.a.w maka dia berdusta. Insan itu tetap insan. Terbit darinya apa yang terbit dari insan. Maka, ada padanya kebenaran dan kebaikan. Ada juga padanya kebatilan dan kejahatan. Boleh jadi kebenaran dan kebaikan pada insan tertentu dalam lingkungan yang luas, maka dia dinilai dalam kalangan ahli kebenaran dan kebaikan. Ini tidak menghalang untuk terjadi kepadanya beberapa kesilapan. Boleh jadi kebatilan dan kejahatan pada insan yang lain dalam lingkungan yang luas, maka dia dinilai dalam kalangan ahli kebatilan dan kejahatan. Ini tidak menghalang untuk tercetus dari beberapa cetusan kebaikan pada waktu-waktu tertentu.

Wajib kepada sesiapa yang berbicara mengenai ahli kebenaran dan kebaikan, jika dia tahu mereka ada beberapa kesilapan, janganlah dia rosakkan kebenaran dan kebaikan mereka yang banyak itu. Janganlah dipadamkan segala kebenaran dan kebaikan disebabkan kesalahan-kesalahan tersebut.

Wajib pula kepada sesiapa yang berbicara mengenai ahli kebatilan dan kejahatan, jika dia tahu ada beberapa cetusan kebaikan mereka, janganlah dia kelirukan orang ramai bahawa mereka itu dalam kalangan golongan yang soleh hanya kerana amalan kebaikan mereka yang jarang dan ganjil itu”. (Tahqiq al-‘Awasim min al-Qawasim, m/s 47. Beirut: Dar al-Jail).

oleh: Prof Madya Dr Mohd Asri Zainul Abidin

Thursday, September 22, 2011

Bagaimana Menjaga Keikhlasan



Ramai yang bertanya kepada saya, bagaimana nak jaga keikhlasan hati ketika beramal atau melakukan kebaikan.

Ada satu perkara yang perlu kita fahami iaitu IKHLAS ini adalah buah atau natijah dari keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT. Ikhlas tidak dibina diatas dasar yang tidak jelas atau diawang-awangan. Apabila kita benar-benar merasai hakikat kebesaran dan keagungan Allah disamping menyakini segala janji-janji dan ancaman-ancamanNya serta meyakini hari pertemuan denganNya maka ketika itu pohon keimanan yang ada pada jiwa kita mula mengeluarkan buahnya untuk kita petik dan menikmati kemanisannya.

Ya, buah Ikhlas itu manis dan harum. Namun tak semua pohon Iman itu mengeluarkan buah atau hasil. Tidak semua pula yang tahu memetik buahnya untuk menikmati anugerah Allah yang agung ini. Mungkin kita perlu tanya: Adakah benihnya baik, ada tanahnya telah kita gemburkan dan bajai dengan baik, adakah air yang kita sirami cukup dan sebagainya.

Iman tidak akan tumbuh secara mukjizat. Kita perlu tanamkan benih yang asli dan baik; kita perlu bangunkan iman itu diatas asas keimanan dan kesedaran yang betul, bukan kerana keturunan atau warisan tetapi kita perlu melalui proses. Jangan jadikan diri kita seperti 'umang-umang'. Mungkin ada yang tak kenal umang-umang. Lihatlah ditepi pantai, kadang-kadang kita akan temui siput yang berjalan laju. Bukankah berjalan laju itu bukan sifatnya. Kalau kita angkat dan tengok betul-betul rupanya ada ketam yang menumpang kulit siput yang kosong itu. Mungkinkah iman kita begitu? Kita beriman kerana ibu ayah kita beriman atau orang disekeliling kita beriman. Adakah keimanan kita itu asli dan benar. Apakah proses yang telah kita lalui hingga kita yakin bahawa iman kita itu betul.



Dr 'Ali Hasyimi dalam bukunya Syakhsiyah Islamiyyah menyebutkan tentang Iman yang celik. Katanya iman yang celik atau iman yang hidup adalah iman yang tumbuh diatas dasar makrifatullah atau mengenali Allah dengan sebenar-benarnya kefahaman tentang nama-namaNya, sifat-sifatNya dan sebagainya yang berkaitan dengan Allah. Kefahaman ini ditingkatkan hingga melahirkan as syu'ur ma'iyatullah (Rasa sentiasa bersama Allah atau mampu menghadirkan Allah dalam diri kita) hingga kita tidak merasakan sesuatu apapun yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Kita merasakan dengan seluruh jiwa kita akan pemerhatian Allah, Maha mendengarnya Allah, Maha mengetahuinya Allah dan sebagainya. Syu'ur atu perasaan ini terus ditingkatkan hingga jiwa kita sentiasa beinteraksi (mukholatah) dengan Allah SWT. Setiap keluhan kita, setiap aduan dan permohonan kita pertama-tama sekali kita hadapkan kepada Allah, tidak pada selainNya.


Inilah tiga tahap penanaman iman hingga Iman itu tumbuh dan berbuah; Makrifah, Syu'ur dan Mukholatah. Ketiga-tiga unsur ini akan kita tingkatkan melalui ketekunan kita mentaati Allah SWT. Bagaimana seorang yang tidak melakukan apa-apa mampu berdoa dengan penuh yakin? Adakah sama doa orang yang begitu berbanding seorang yang bekerja bertungkus lumus hingga pecah-pecah kulit tapak tangannya dan diapun menjaga batas-batas yang ditentukan Allah lalu berdoa menadah tangan mengharapkan Rahmat dan PertolonganNya? Semua ini akan menjadikan hati kita lebih peka dan merasai hubungan dengan Allah.


Bagaimana pula kita nak ikhlas sekiranya kita tidak merasakan pemerhatian Allah SWT bahkan segala bisikan hati kita semuanya dalam ilmu Allah SWT. Jadi kita tidak akan mampu untuk ikhlas hanya dengan keinginan untuk ikhlas atau dengan memaksa hati kita untuk ikhlas. Tahukah kita apa yang paling istimewa dari keikhlasan yang benar? Ya, setiapkali kita berdoa Allah mendengar dan memnuhi permintaan kita, setiap kesempitan hidup Allah lapangkan jiwa kita, setiap kesukaran dan kepayahan Allah akan kuatkan jiwa kita untuk mengharungi, setiap kesedihan Allah akan bahagiakan kita dengan janji-janjiNya, setiap kelalaian kita akan ditegur Allah dengan penh kebijaksanaan kerana kita adalah hambaNya yang dikasihiNya. Boleh anda senaraikan perkara yang lebih anda hajati dari semua ini???
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...