Disamping dalil-dalil yang menunjukkan bertambahnya keimanan adapula dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keimanan sempurna sangat berat sehingga banyak pula dalil-dalil yang menafikan keimanan yang sempurna dari seseorang yang berbuat kemaksiatan-kemaksiatan. Allah -Subhanallahu wa Ta’ala- :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal” (Al-Anfaal:2)
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (Al-Hujuraat:15)
Kalimat “inna maa” merupakan “harfu hashrin” yang mengurung sesuatu pada sesuatu. Sehingga makna ayat di atas adalah; hanya saja yang dikatakan mukmin adalah orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya, lain tidak. Atau yang disebut mukmin adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah bergetar hatinya, yang tidak demikian tidak dikatakan orang mukmin. Oleh karena itu sebagian manusia mengira dengan kaku bahwa yang tidak memiliki sifat-sifat yang tersebut di atas adalah kafir. Padahal para ulama ahli tafsir memahami bahwa yang dikurung dengan sifat-sifat tersebut adalah mukmin yang sempurna imannya, maka makna ayat diatas adalah: “Sesungguhnya seorang mukmin yang sempurna adalah….”. atau “Hanya saja mukmin hakiki adalah….:. dengan demikian orang yang tidak memiliki sifat-sifat diatas belum tentu kafir, yang pasti bukan mukmin yang sempurna imannya.
Maka jika tidak seperti yang Allah gambarkan di dalam ayat-ayat di atas ada dua kemungkinan; bisa jadi tidak memiliki keimanan alias kafir (munafiq) atau kemungkinan yang kedua, ia adalah seorang yang memiliki iman yang lemah dan tidak sempurna alias belum mencapai gambaran yang Allah sebutkan dalam ayat-ayat di atas.
Dalam ayat lainnya Allah sifatkan pula orang-orang beriman dengan rinci yaitu di awal surat Al-Mu’minuun:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. (Al-Mu’minuun 1-11)
Dalam ayat di atas juga menggambarkan orang yang beriman dengan sebenar-benar keimanan, sehingga orang yang tidak khusyu shalatnya bukan berarti tidak mukmin namun tidak sempurna keimanannya. Demikian pula yang belum meninggalkan perbuatan-perbuatan laghwun, yaitu perbuatan sia-sia bukan berarti kafir, namun orang yang belum sempurna keimananya dan begitulah seterusnya. Hingga apabila mereka meninggalkan dasar-dasar keimanannya seperti membatalkan syahadat dengan syirik besar, atau membatalkan syahadat kedua dengan beriman ke[ada nabi-nabi palsu atau ingkar kepada rukun-rukun iman maka ia kafir dan hilang imannya sama sekali.
Dengan keterangan tersebut berarti kita mengenali ada dua model keimanan, yaitu; keimanan yang sempurna dan keimanan yang lemah. Sedangkan kelemahan itu relatif; ada yang dekat pada kesempurnaan, ada pula yang di bawahnya dan di bawahnya, ada pula yang sangat lemah mendekati kekufuran. Jika kita lihat ayat-ayat di atas dan kita tanyakan mana yang lebih lemah, apakah seseorang yang tidak khusyu dalam shalatnya atau yang tidak khusyu dan tidak meninggalkan perbuatan sia-sia atau seseorang yang disamping tidak khusyu, tidak meninggalkan perbuatan sia-sia juga dia jatuh ke dalam zina dan tidak menjaga kemaluannya dari yang haram. Tentunya secara fiqih, mereka yang meninggalkan sifat-sifat kesempurnaan iman berarti dia lebih jauh dari kesempurnaan dan lebih lemah imannya. Inilah yang kita namakan berkurangnya keimanan. Para ulama menyebutkan bahwa keimanan akan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, semakin banyak kemaksiatan yang dilakukan, maka akan semakin berkurang keimanannya.
Berkata Imam Abu Utsman Ash-Shaabuni -rahimahullah- : “Di antara madzhab Ahlul-Hadits adalah bahwa iman merupakan ucapan, amalan, dan pengenalan (terhadap Allah), bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:264)
Imam Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna bertambah dan berkurangnya iman? Kemudian beliau menjawab dengan menukilkan ucapan dengan sanadnya sampai kepada ‘Umair bin Hubaib -rahimahullah-, dia berkata: “Iman bertambah dan berkurang”. Maka dia ditanya, “Bagaimana bertambah dan berkurangnya?” Dia menjawab: “Jika kita ingat Allah, memuji-Nya, bertasbih kepada-Nya, maka demikianlah bertambahnya. Dan jika kita lalai, melupakan-Nya, menyia-nyiakan-Nya maka itulah berkurangnya”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:265-266)
Demikian pula kita katakan hadits-hadits yang menafikan keimanan dari orang yang belum mengerjakan sifat-sifat kesempurnaan iman, seperti ucapan Rasulullah -salallahu’alaihi wa sallam- : “Tidak beriman salah seorang kalian hingga engkau menyukai untuk saudaramu apa-apa yang engkau sukai dari dirimu”. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- memberikan syarat yang sangat berat yaitu menyukai untuk saudaranya apa yang disukai oleh dirinya, namun apakah bermakna orang yang egois yang mementingkan diri sendiri adalah kafir? Tentu tidak.
Dan sabda Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya:
“Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga menjadikan aku lebih dicintai daripada anaknya, orangtuanya atau seluruh manusia lainnya”. (Muttafaq’alaih)
Para ulama memahami ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- “tidak beriman” adalah tidak beriman dengan keimanan yang sempurna.
2. Berkurangnya iman dengan mengerjakan dosa-dosa
Dan ucapan-ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya yang meniadakan keimanan bagi orang yang melakukan dosa-dosa tertentu:
“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Seseorang bertanya, “Siapakah yang tidak beriman wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu seseorang yang tetangganya merasa tidak aman karena gangguannya.” (Muttafaq’alaih)
Tentunya bukan bermakna kafir tetapi memiliki keimanan yang sempurna atau menurunnya keimanannya, yang demikian karena sudah disebutkan secara jelas di dalam Al-Quran pembatal-pembatal keimanan diantaranya kesyirikan yang besar. Dan juga telah dijelaskan bahwa dosa-dosa selain syirik masih ada kemungkinan diampuni. Allah -Subhanallahu wa Ta’ala- berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa:48)
3. Berkurangnya iman dengan meninggalkan cabang-cabang keimanan
Dalam riwayat yang lainnya Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- bersabda:
“Iman itu memiliki 70 lebih atau 60 lebih cabang, yang paling tinggi adalah Laa Ilaaha Illallah, yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman”. (Muttafaq’alaih)
Maka di dalam hadits diatas Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa iman memiliki sekian cabang, yang paling tingginya adalah ucapan laa ilaaha illallah yang paling rendahnya adalah menghilangkan gangguan dari jalan, di samping menunjukkan bahwa perbuatan yang baik (amal shalih) termasuk dalam keimanan juga menunjukkan bahwa jika berkurang cabang tersebut maka berkurang keimanannya, sampai hilang sama sekali keimanannya. Hingga jika hilang cabang yang utama yaitu laa ilaaha illallah maka hilanglah keimanannya secara keseluruhan.
Sufyan bin ‘Uyainah -rahimahullah- berkata: “Iman mencakup ucapan dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang”. Kemudian saudaranya yaitu Ibrahim bin ‘Uyainah bertanya kepadanya: “(Apakah juga) berkurang?” Maka dia menjawab: “Diamlah kamu wahai anak kecil! Tentu saja bisa berkurang, sampai-sampai tidak bersisa sama sekali”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:270-271)